Friday, January 23, 2009

Kisah Sukses-3 : Irwan Hidayat & SIDO MUNCUL (2)

KEPERCAYAAN, Kata yang kini menjadi acuan setiap rencana dan langkah yang diambil oleh Irwan Hidayat (57), Direktur Utama PT Sido Muncul. Membangun kepercayaan itulah yang kini menjadi motivasinya dalam emngembangkan industri jamu yang telah dirintis oleh neneknya, Ny. Rakhmat Sulitio, sejak tahun 1951.

Sebagai generasi ketiga yang dipercaya untuk melanjutkan bisnis keluarga, Irwan tidak bisa hanya melanjutkan begitu saja tradisi yang telah terbangun di perusahaan. Situasi dan kondisi zaman yang dihadapi telah jauh berbeda, begitu pula tuntutan konsumen terhadap produk yang dihasilkan. Keadaan itu yang memacunya mencari terobosan-terobosan baru untuk mengangkat "gengsi" jamu agar dapat setara dengan obat, atau setidaknya menjadi pengobatan alternatif yang teruji keabsahan dan keilmiahannya.

"Semua dimiliki oleh jamu, ribuan spesies tanaman obat ada di Indoensia, ahli pembuat jamu banya. Yang tidak dimiliki industri jamu adalah kepercayaan. Kepercayaan konsumen itu yang harus kita bangun," kata Irwan, yang pernah bekerja di perusahaan farmasi sebelum menggeluti industri jamu.

Jika pabrik farmasi punya dokter sebagai parner, obat-obatan dari Cina punya sinshe sebagai pengobat, namun tidak demikian dengan jamu. Tidak ada pengobat yang dapat menjadi parner bagi industri jamu untuk "memasarkan" produknya. Ketiadaan pengobat ini yang harus diatasi oleh industri jamu, yaitu dengan membangun kepercayaan publik bahwa jamu juga punya kredibilitas dalam hal kebersihan, uji toksisitas (tingkat peracunan-Red), dan syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh obat.

Untuk itu, terobosan harus dilakukan. Tahun 1997, saat banyak industri terseok-seok menghadapi badai krisis yang melanda Indonesia, PT Sido Muncul justru mencanangkan pembangunan pabrik de4ngan sertifikasi industri farmasi, dan laboratorium yang terstandarisasi sebagai laboratorium farmasi.

Di areal seluas 32 hektar dibangun laboratorium seluas 3.000 meter persegi dengan biasa 2,5 miliar rupiah, dan pabrik seluas tujuh hektar, termasuk pabrik mi. kini di areal itu juga dikembangkan sarana agrowisata seluas 1,5 hektar. "Modalnya nekat. Ketidaktahuan justru menyelamatkan saya. Saat itu saya tidak punya utang dolar AS. Tetapi, karena tidak tahu, dari 15 miliar rupiah yang dianggarkan, biaya pembangunan pabrik membengkak sampai 30 miliar rupiah," kata Irwan.

Kenekatan itu kini membuahkan hasil. Tahun 2000 Departemen Kesehatan memberikan sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) kepada PT Sido Muncul, padahal selama ini industri jamu hanya mendapatkan sertifikat Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB). "Kini kami siap menghadapi persaingan global," tekad Irwan.

DISADARI, pasar jamu di Indonesia sangat kecil, hanya sekitar 2 triliun rupiah per tahun yang diisi oleh 650 pabrik jamu. Untuk itu, harus ada upaya mengembangkan pasar, baik di dalam negeri maupun menjangkau pasar luar negeri. Irwan berkeras hati untuk bisa masuk ke pasar China, meski diakui hal itu tidak mudah karena Pemerintah China sangat melindungi industri obat-obatan tradisionalnya.

"Kami sudah masuk ke pasar Hongkong, kami akan berusaha agar bisa menembus China. Kita harus buktikan kalau produk kita lebih baik dari yang mereka punya. Itu tidak hanya akan mempermudah kita masuk ke negara-negara lain, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pasar di dalam negeri," kata Irwan yang meyakini hanya yang bisa melakukan terobosan yang akan dapat bertahan dan berkembang.

Sementara, untuk memperluas pasar di dalam negeri, dilakukan diversifikasi produk dengan mengembangkan produk "brand", yaitu minuman dalam bentuk serbuk. Potensi di pasar minuman kesehatan ini masih terbuka luas, dan pemainnya masih terbatas, tidak sehiruk-pikuk jamu. Di sisi lain, pabrik yang dibangunnya adalah pabrik farmasi yang memiliki standar CPOB. Produk lain yang kini juga dikembangkan, karena yakin potensi pasarnya masih besar, yaitu mi instan, permen kesehatan, dan minuman kesehatan dalam bentuk cair.

Selain itu, dilakukan langkah-langkah untuk membangun pasar secara vertikal. Jika selama ini jamu sering kali diidentikkan dengan kalangan masyarakat di lapisan menengah bawah, kini dibangun citra bahwa jamu juga milik kelompok masyarakat menengah atas.

Pencitraan itu dilakukan dengan mengubah konsep iklan, yaitu menampilkan tokoh-tokoh yang menjadi "wakil" kelas menengah atas, yaitu pengusaha Setiawan Djodi, pakar pemasaran Rhenal Kasali, dan kelompok musik "Dewa". Usaha meningkatkan citra ini mendapat penghargaan Anugerah Cakram tahun 2002 untuk pengiklan terbaik.

Berbagai penghargaan pun diraih, antara lain Kehati Award tahun 2001, Bung Hatta Award tahun 2002 sebagai Perusahaan Teladan, Produk terbaik dari ASEAN Food Conference ke-8, Penghargaan Merek Dagang Indonesia tahun 2003, dan penghargaan dari Departemen Perhubungan dan Departemen Tenaga Kerja sebagai pelaku bisnis peduli lingkungan, karena telah menyelenggarakan program mudik lebaran gratis buat para pedagang jamu yang telah dilakukan sejak tahun 1995.

Tidak hanya itu, tekadnya memperluas pasar dalam negeri membuat Irwan dengan kemeja promosinya tidak segan-segan untuk terjun langsung ke pasar menjumpai distributor, agen, bahkan pedagang jamu gendong atau pemilik kios jamu untuk memasarkan produknya. Dalam satu bulan terakhir ini, tidak kurang 7.000 orang telah ditemuinya untuk memasarkan produknya, dan hasilnya tidak sia-sia. Dalam tiga bulan sejak produk minuman kesehatannya diluncurkan telah terjual 16 juta bungkus, atau sekitar seperenam dari pasar minuman kesehatan yang dikuasai oleh minuman sejenis yang lebih dahulu masuk ke pasar dan memimpin pasar.

KINI ada 60 distributor tersebar di setiap kabupaten di Pulau Jawa yang menjadi mitranya. Ditunjang oleh sekitar 150.000 pedagang jamu gendong dan 300.000 depot jamu. "Kita itu butuh membangun networking. Itu tidak bisa dilakukan kalau kita hanya duduk di dalam kantor, turun ke bawah itu akan lebih menyentuh dan membuat ikatan lebih kuat", katanya.

Meski belum sepenuhnya sesuai dengan harapan, Irwan mensyukuri kondisi perusahaan yang dipimpinnya bersama lima saudaranya itu jauh lebih baik dari saat awal diwariskan kepada dirinya tahun 1972, perusahaan keluarga ini dilimpahkan kepada dirinya dalam keadaan menanggung utang dan hampir tanpa aset yang berarti.

"Utang bahan baku klau dihitung itu sekitar 30 bulan omzet-nya, pabrik hanya 600 meter persegi, dan pekerjanya 100 orang tanpa punya mesin satu pun," tuturnya tanpa bersedia memperinci berapa omzetnya sekarang. "Tidak terlalu besar, tetapi lumayanlah bisa punya pabrik yang cukup modern, laboratorium yang bagus, dan karyawan sudah 2.000 orang," ujarnya.

Sampai dengan tahun 1993, kondisi perusahaan belum menunjukkan titi terang. Tetapi Irwan mencoba, dan terus mencoba. Tidak pernah ada kata menyerah karena keyakinan bahwa setiap orang punya kesempatan. "Matahari memang Cuma satu, tetapi yang bercahaya kan tidak cuma matahari, jadi lilin pun bisa bercahaya," katanya.

Diakui, banyak kesalahan yang tidak perlu terjadi dilakukannya hanya karena ketidaktahuannya. "Saya masih banyak melakukan kesalahan yang tidak perlu. Tahun 1993 itulah saya mendapat pelajaran yang berarti, justru dari orang-orang yang tan terduga, yaitu dari orang gila yang dengan terus terang mengatakan jamu saya pahit, tidak enak, yang akhirnya membuat saya berpikir keras bagaimana membuat jamu yang disukai.

Biro iklan yang menolak saya mengajarkan bawha bisnis itu harus dengan hati nurani, dan tukang bajaj mengajarkan kepada saya bahwa kita ini punya tanggung jawab sosial, beribalah dengan hati, bukan sekedar kewajiban," katanya.

Pelajaran-pelajaran itu yang kemudian menjadi pedoman Irwan dalam menjalankan perusahaannya. Berbisnis dengan hati nurani diwujudkannya dengan selalu membina hubunganb baik dengan supplier-nya, memberikan upah yang layak kepada karyawannya, dan dalam mengembangkan networking (jaringan kerja).

"Saya tidak setuju dengan upah minimum, saya lebih suka kalau kita menetapkan upah yang layak. Karena dengan upah yang layak, kita bsia meningkatkan produktivitas, dan itu akan banyak menghemat biaya, daripada kita membayar dengan upah minimum, tetapi produktivitas rendah. Dan, yang terpenting adalah kepercayaan, baik di internal maupun di eksternal. Kalau itu bis akita jaga, semuanya akan lebih mudah," katanya.

Kini yang menjadi cita-cita Irwan adalah mengembangkan industri jamu sebagai bagian dari pembangunan sistem kesehatan nasional. Untuk itu, dia sedang merintis langkah untuk mendidik para pengobat, seperti halnya China mengembangkan pengobatan tradisionalnya dengan mendidik para shines.

"Saya punya cita-cita ada pendidikan naturopath di Indonesia. Sebenarnya Departemen Kesehatan bisa membantu ke arah sana, toh naturopath ini bukan hal baru, sudah diakui keberadaannya, dan kita punya potensi bagus di bidang ini," ujarnya.

No comments:

Post a Comment